Skip to main content

Ahli Hukum Sebut Kasus Penyerobotan Lahan di Blitar Belum Layak Masuk Ranah Pidana

 

Blitar, Siberspace.id - Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana penyerobotan lahan dengan nomor perkara 308/Pid.B/2025/PN Blt kembali digelar di Pengadilan Negeri Blitar, Kamis (30/10/2025).

Dalam persidangan tersebut, tim penasihat hukum terdakwa bersama saksi ahli hukum perdata menyoroti sejumlah pelanggaran prosedural yang dinilai membuat perkara ini belum layak masuk ranah pidana.

 

Penasihat hukum terdakwa, Advokat Joko Siswanto, S.Kom., S.H., CTA. didampingi Rachmat Idisetyo, S.H. dan Jakfar Shodiq, S.H., menegaskan bahwa kasus ini seharusnya masih dikategorikan sebagai sengketa keperdataan bukan pidana.

 “Sejak awal kami sampaikan dalam eksepsi bahwa perkara ini murni perdata. Ada tahapan hukum yang belum dijalankan, terutama permohonan eksekusi ke ketua pengadilan negeri terhadap objek yang disengketakan,” ujar Joko usai sidang.

 

Menurut Joko, pandangan tersebut diperkuat oleh keterangan ahli hukum agraria dan administrasi negara Prof. Dr. Iwan Permadi, S.H., M.Hum dari Universitas Brawijaya.

“Prof. Iwan sudah menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa proses pengosongan belum dilakukan melalui pengadilan, kok sudah masuk pidana. Ini jelas terlalu dini,” tegas Joko.

 

Ia menilai, langkah aparat penyidik dan kejaksaan yang menetapkan kliennya sebagai tersangka justru mengabaikan tahapan hukum perdata yang semestinya dilalui terlebih dahulu.

 

“Harusnya ada gugatan dan permohonan pengosongan dulu di pengadilan negeri. Itu dasar hukumnya. Tapi ini langsung masuk pidana,” ujarnya.

 

Joko juga mengungkap adanya indikasi unsur korupsi dan kerja sama tidak sehat antara pihak pelapor dan seorang notaris dalam proses lelang aset.

 “Ada indikasi kerja sama yang tidak sehat antara pelapor dan notaris. Fakta itu akan kami tindak lanjuti dan laporkan,” katanya.

Selain itu, ia mengkritik aparat penegak hukum karena tidak menempuh jalur mediasi dalam penyelesaian perkara ini.

 

 “Polisi dengan jargon ‘melindungi dan melayani’ seharusnya memediasi kedua belah pihak, kreditur dan debitur, bukan langsung membawa perkara ke ranah pidana,” ujarnya.

 

Ia menekankan bahwa sistem hukum Indonesia telah mengatur mekanisme bipartit dan tripartit melalui mediator bersertifikat.

 

“Kalau sudah ada hasil mediasi, itu bisa diajukan ke pengadilan untuk penetapan. Jadi tidak perlu masuk ke litigasi pidana. Jalur non-litigasi itu sah dan diakui,” tambahnya.

 

Sementara itu, saksi ahli Prof. Iwan Permadi yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Koperasi Brawijaya, menjelaskan secara rinci bahwa setiap pelelangan objek agunan wajib melalui prosedur resmi termasuk somasi bertahap dan pelaksanaan lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

 

“Dalam hukum perdata dan pertanahan, tidak boleh ada pengalihan atau pelelangan tanpa pemberitahuan resmi dan prosedur lelang yang sah,” tegasnya.

 

Ia juga menyinggung Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2014, yang mewajibkan proses pengosongan objek lelang dilakukan melalui permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri.

 

“Kalau debitur belum mengosongkan objek, kreditur wajib mengajukan permohonan eksekusi pengosongan ke pengadilan. Itu bukan pilihan, tapi kewajiban,” jelas Iwan.

Menurutnya, sebelum eksekusi dilakukan, hak kepemilikan atas objek masih melekat pada debitur.

 

“Meskipun sertifikat sudah balik nama, secara yuridis belum berpindah sempurna tanpa eksekusi pengosongan dari pengadilan,” ujarnya.

 

Lebih lanjut, Prof. Iwan juga mengingatkan bahwa praktik pencantuman nilai fiktif dalam Akta Jual Beli (AJB) dapat masuk ranah tindak pidana korupsi (Tipikor).

 

"Kalau dalam AJB ditulis sembilan puluh juta padahal nilai transaksi sebenarnya ratusan juta, itu merugikan keuangan negara karena mengurangi penerimaan pajak. Itu bisa masuk Tipikor,” ujarnya.

 

Ia menegaskan bahwa sertifikat tanah bukan bukti kepemilikan mutlak jika diterbitkan melalui prosedur yang cacat hukum.

“Sertifikat hanya bukti administratif. Kalau prosesnya menyalahi aturan, maka bisa dibatalkan,” pungkasnya. (Eko)

 

Wilayah